Dia Kualat Kepada Para Petani Tebu?
Sabtu, 2 Agustus 2025 21:06 WIB
Tom Lembong pada waktu menjadi Menteri Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan yang melucuti kepentingan para petani tebu.
***
Artikel ini, agar tidak terlalu panjang, hanya bersifat penyelidikan terhadap motif Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dalam menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula. Peraturan itu mencabut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527 /MPP /Kep/9 /2004 tentang Ketentuan Impor Gula sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/5/2008.
Di dalam huruf a. konsideran Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 yang dibuat oleh Tom Lembong dinyatakan “Bahwa untuk mendorong peningkatan daya saing nasional, perlu melakukan penyederhanaan perizinan di bidang perdagangan, khususnya impor gula.” Kata “penyederhanaan” ini maknanya adalah “mempermudah impor.”
Tunduk kepada elite global dan lokal
Kebijakan politik eknomi yang mempermudah impor dari suatu negara berkembang biasanya merupakan bentuk ketertundukan pada regulasi World Trade Organization (WTO), yang dalam pembahasan tentang perdagangan global adalah bentuk dominasi atau kolonialisasi ekonomi dunia oleh para raksasa ekonomi dunia.
Padahal, dalam kenyataannya negara-negara besar (maju) tetap melakukan proteksi dengan cara tarif, dan memberikan subsidi besar kepada para petani dan industrinya, yang hal itu melanggar regulasi WTO tersebut. Sengketa antara Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) biasa terjadi di WTO, karena mereka sebenarnya juga para pemain curang dalam perdagangan internasional.
Seorang mantan diplomat Peru bernama Oswaldo de Rivero terkenal dengan bukunya The Mith of Develompment: Non-Viable Economies of the 21st Century memandang WTO secara kritis, bahwa WTO lebih banyak mewakili negara-negara maju dan korporasi multinasional dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Dia melihat bahwa WTO seringkali memperkuat dominasi eknonomi global oleh negara-negara industri, dan menghambat kemandirian serta pembangunan ekonomi negara-negara miskin. Negara-negara berkembang dipaksa untuk membuka pasarnya, sementara negara-negara maju malah membrikan subsidi besar kepada sektor pertanian dan industri mereka.
Perang tarif impor terus terjadi, termasuk AS dengan China dan dengan negara-negara lain. Berita terbaru, apa yang dilakukan Presiden Donald Trump adalah dalam rangka melindungi kepentingan ekonomi nasional AS. Dia tidak terlalu peduli dengan Hukum Internasional, dalam banyak hal. Lalu apakah Indonesia akan menjadi “anak baik dunia” dengan selalu menunduk tunduk kepada negara-negara elite dunia, dengan cara mengorbankan proteksi kepada rakyatnya dan memberikan keuntungan kepada para elite lokal?
Melucuti proteksi untuk para petani tebu
Kembali ke dalam negeri Indonesia. Semula, syarat-syarat impor gula yang bertujuan melindungi para petani tebu ditentukan di dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527 /MPP /Kep/9 /2004 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/5/2008, yang dicabut oleh Tom Lembong tersebut.
Ketentuan-ketentuan yang melindungi para petani tebu tersebut diantaranya adalah:
Gula Kristal Putih (GKP) hanya dapat diimpor dengan syarat jika: (a). di luar masa satu bulan sebelum musim giling tebu rakyat, musim giling tebu rakyat, dan dua bulan setelah musim giling tebu rakyat, (b). harga GKP di tingkat petani mencapai di atas Rp 3.410/kg, dan atau (c). persediaan dan/atau produksi GKP di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan.
Musim giling tebu tersebut ditentukan oleh Menteri Pertanian. Penentuan syarat harga gula, keadaan produksi dan/atau persediaan GKP yang dibolehkan untuk impor tersebut serta jumlah gula yang perlu diimpor didasarkan pada hasil rapat koordinasi antar instansi/lembaga dan asosiasi terkait. (Pasal 7).
Di sini tampak bahwa izin impor gula didasarkan pada syarat impor gula yang ditetapkan, dan harus melibatkan instansi Kementerian Pertanian dan peranserta masyarakat yang tergabung dalam asosiasi terkait produksi dan perdagangan gula tersebut, yang tentunya termasuk petani tebu.
Impor GKP tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan yang mendapat penunjukan sebagai importir terdaftar gula (IT Gula), di mana perusahaan tersebut harus memenuhi syarat bahwa perolehan tebu perusahaan tersebut paling sedikit 75% bersumber dari petani tebu atau merupakan hasil kerjasama dengan petani tebu setempat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat setempat. (Pasal 8 dan 9).
Perusahaan IT Gula wajib melakukan penyanggaan harga gula apabila harga GKP di tingkat petani berada di bawah Rp 3.410,-/kg, bekerjasama dengan pihak lain yang mendapat persetujuan Asosiasi Petani Tebu Rakyat setempat. (Pasal 13).
Patokan harga gula tersebut selanjutnya selalu diubah dengan peraturan perubahan dari Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527 /MPP /Kep/9 /2004, sampai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-DAG/PER/5/2008 di era Menteri Mari Elka Pangestu yang kemudian juga menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/5/2010, tanggal 10 Mei 2010 tentang Penetapan Harga Patokan Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar).
Peraturan yang bersifat melindungi kepentingan para petani tebu Indonesia tersebut dilenyapkan, dilucuti oleh Tom Lembong, dengan dalih sebagaimana dimuat dalam konsideran Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015, yakni untuk menyederhanakan perizinan dalam perdagangan impor gula.
Jika diteliti, jarak antara Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini M. Sumarno Soewandi yang mengeluarkan regulasi impor gula yang bersifat melindungi kepentingan petani tebu, dengan Menteri Perdagangan Tom Lembong adalah selama sekitar 10 tahun. Setelah Menteri Rini, Menteri Perdagangan dijabat oleh Mari Elka Pangestu (2014 – 2011), Gita Wirjawan (2011-2014), Bayu Krisnamurthi (2014), Muhammad Luthfi (2014), Rachmad Gobel (2014 – 2015), dan Tom Lembong (2015 -2016). Barulah di tanggal 23 Desember 2015 Tom Lembong memberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015.
Artinya, lima orang Meteri Perdagangan setelah Rini M. Sumarno Soewandi selalu mempertahankan regulasi perizinan impor gula yang materinya bersifat melindungi para petani tebu nasional, meskipun mungkin dalam praktinya bisa diteliti lebih jauh. Tetapi, di era Tom Lembong menjadi Menteri Perdagangan yang diangkat Presiden Jokowi tersebut, regulasi izin impor gula yang memuat perlindungan kepentingan dan peranserta petani tebu nasional tersebut dicabut.
Tentu saja bahwa Presiden Jokowi pada waktu itu harus dianggap mengetahui hal itu, sebab seorang menteri hanyalah pembantu presiden. Kebijakan liberalisasi impor gula tersebut, dengan model melucuti peranserta dan kepentingan para petani tebu nasional, harus dipandang sebagai ke(tidak)bijakan Rezim Jokowi, dan Tom Lembong merupakan salah satu tangan yang dipakai. Mengapa hal itu dilakukan? Apakah demi keuntungan para elite saudagar pendukung mereka?
Setelah masa jabatan Presiden Jokowi periode ke-dua berakhir, dan digantikan oleh Presiden Prabowo, barulah Tom Lembong terseret dalam kasus korupsi pemberian izin impor gula. Seolah ia kualat kepada para petani tebu. Tetapi akhirnya kasusnya diakhiri dengan abolisi yang diberikan oleh Presiden Prabowo, yang notabene adalah mantan Ketua Organisasi Petani (yakni HKTI). Keputusan abolisi ini tentunya juga bermasalah, sebab itu sebagai bukti bahwa hukum dapat dijadikan alat oleh para elite sesuai kehendak mereka. Negoro model opo iki Nyo?

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Dia Kualat Kepada Para Petani Tebu?
Sabtu, 2 Agustus 2025 21:06 WIB
Penyesatan Makna Mens Rea dalam Kasus Tom Lembong
Minggu, 27 Juli 2025 18:05 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler